Selasa, 06 Oktober 2015

Cerpen
Pandangannya

            Lelaki itu dipanggil oleh teman-temannya dengan nama Fajri. Dalam absen, nama lengkapnya adalah Muh. Fajri. Begitulah dua kata yang sering membuatnya menoleh ketika dipanggil. Tolehannya tak lengkap ketika yang memanggilnya adalah saya, gurunya. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Tingkah lakunya akan lebih berubah seperti kucing yang gagal mencuri sepotong ikan dari balik penutup nasi bentuk lingkaran di atas meja ketika panggilan saya, sekali lagi gurunya, dibarengi dengan pertanyaan. Aku  tidak pernah memanggilnya dengan suara keras, apalagi dengan kasar. Bahkan terkadang dengan suara yang sangat lembut mengeja satu demi satu fonem namanya yang hanya lima huruf itu. Dua vokal dan tiga konsonan, fajri, itulah yang kumaksud.
Dia begitu susah untuk mengutak atik kata dan merangkainya menjadi frase kemudian terbentuk dalam sebuah  kalimat tersusun dengan rapi untuk menjawab pertanyaan aku. Bahkan, dia akan menjadi bahan cemoohan teman-temannya ketika aku mengatakan padanya, Fajri, apakah hari ini engkau sudah  mampu untuk berbicara. Sekali lagi, dia hanya membalasnya dengan senyuman, terkadang aku melihatnya bahwa senyuman itu diiringi dengan perasaan malu. Ketika aku tak memalingkan muka dan terus bertanya kepadanya dengan teks yang sama, maka mukanya akan terlihat kemerahan dan tak lama kupastikan keringatnya akan membasahi jidat yang  tak hitam juga tak putih. Tebaklah sendiri warna kulit itu.
Suatu hari, perlahan kudekati dia, kutanya tentang kisah hidupnya. Dengan tenang dia  akan menjawabnya satu per satu tiap kalimat pertanyaan yang kuajukan. Dengan tenang pula dia akan memutar memorinya untuk mengingat masa lalunya serta dengan menarik nafas dalam-dalam dia akan mulai menceritakannya kepadaku hingga lengkap. Titik komanya akan teratur rapi. Aku heran, kenapa teks yang dikeluarkannya hari ini tak seperti apa yang sering diperbuatnya ketika aku tanya di dalam kelasnya. Entahlah.
Hari-hari berikutnya, dia semakin membuatku penasaran. Penasaran dan juga menjadikan aku introspeksi diri mengapa dia begitu enggan menjawab tiap kalimat pertanyaan yang kuberikan kepadanya dalam kelas. Tiba-tiba setelah salat, dia menghampiriku dan kemudian bersalaman denganku. Kueratkan genggaman tanganku dengan tangannya. Aku menemukan kehangataan di sana.  Lama kelamaan menjadi getaran-getaran yang menandakan bahwa mungkin saja dia tersipu malu.
Dia kemudian menarik tangannya dan segera. Aku pun mengerti untuk melepas genggaman itu. “Semoga saya sudah tidak takut lagi dengan bapak”. Kalimat itu keluar dari mulutnya yang disertai dengan pandangan harapan serta raut wajah yang cerah. Ketika dia sudah menghilang di balik pintu masjid, aku segera menunduk dan menuduh hatiku sendiri. Hati kemudian menyudutkan ego yang selalu mengeluarkan amarahnya yang kemudian dicerna oleh pikiran yang juga tak mampu memfilter apa-apa.
Aku berharap pertemuanku dengan dia nantinya akan membuat  dia bahagia. Semoga pun aku mampu menjadi manusia memberikan kehangatan pada tiap orang yang merasakan pandanganku.

                                   

                                                                               Pallangga, 20 Februari 2010

Sabtu, 19 Februari 2011

Selamat Berjumpa

Aku kembali hadir dengan sebuah blog baru yang aku rancang untuk sebuah publikasi bersama demi kemajuan pembelajarn kita khususnya bahasa dan sastra Indonesia