Cerpen
Pandangannya
Lelaki
itu dipanggil oleh teman-temannya dengan nama Fajri. Dalam absen, nama
lengkapnya adalah Muh. Fajri. Begitulah dua kata yang
sering membuatnya menoleh ketika dipanggil. Tolehannya tak
lengkap ketika yang memanggilnya adalah saya, gurunya. Entah apa yang membuatnya
seperti itu. Tingkah
lakunya akan lebih berubah seperti kucing yang
gagal mencuri sepotong ikan dari balik penutup nasi bentuk lingkaran di atas
meja ketika panggilan saya, sekali lagi gurunya, dibarengi dengan pertanyaan.
Aku tidak pernah memanggilnya dengan
suara keras, apalagi dengan kasar. Bahkan terkadang dengan suara yang sangat
lembut mengeja satu demi satu fonem namanya yang hanya lima huruf itu. Dua
vokal dan tiga konsonan, fajri, itulah yang kumaksud.
Dia begitu susah untuk mengutak atik kata dan
merangkainya menjadi frase kemudian terbentuk dalam sebuah kalimat tersusun dengan rapi untuk menjawab
pertanyaan aku. Bahkan, dia akan menjadi bahan cemoohan
teman-temannya ketika aku mengatakan padanya, Fajri, apakah hari ini engkau
sudah mampu untuk berbicara. Sekali
lagi, dia hanya membalasnya dengan senyuman, terkadang aku melihatnya bahwa
senyuman itu diiringi dengan perasaan malu. Ketika aku tak memalingkan muka dan
terus bertanya kepadanya dengan teks yang sama, maka mukanya akan terlihat
kemerahan dan tak lama kupastikan keringatnya akan membasahi jidat yang tak hitam juga tak putih. Tebaklah sendiri
warna kulit itu.
Suatu hari, perlahan kudekati dia, kutanya tentang
kisah hidupnya. Dengan tenang dia akan menjawabnya
satu per
satu tiap kalimat pertanyaan
yang kuajukan. Dengan tenang pula dia akan memutar memorinya untuk mengingat
masa lalunya serta dengan menarik nafas dalam-dalam dia akan mulai
menceritakannya kepadaku hingga lengkap. Titik komanya akan teratur rapi. Aku
heran, kenapa teks yang dikeluarkannya hari ini tak seperti apa yang sering
diperbuatnya ketika aku tanya di dalam kelasnya. Entahlah.
Hari-hari berikutnya, dia semakin membuatku penasaran. Penasaran dan juga menjadikan aku
introspeksi diri mengapa dia begitu enggan menjawab tiap kalimat pertanyaan yang kuberikan kepadanya dalam kelas. Tiba-tiba setelah salat, dia
menghampiriku dan kemudian bersalaman denganku. Kueratkan genggaman tanganku dengan
tangannya. Aku menemukan kehangataan di sana.
Lama kelamaan menjadi getaran-getaran yang menandakan bahwa mungkin saja
dia tersipu malu.
Dia kemudian menarik tangannya dan segera. Aku pun mengerti untuk melepas genggaman itu. “Semoga saya
sudah tidak takut lagi dengan bapak”. Kalimat itu keluar dari mulutnya yang
disertai dengan pandangan harapan serta raut wajah yang cerah. Ketika dia sudah
menghilang di
balik pintu masjid, aku
segera menunduk dan menuduh hatiku sendiri. Hati kemudian menyudutkan ego yang
selalu mengeluarkan amarahnya yang kemudian dicerna oleh pikiran yang juga tak
mampu memfilter apa-apa.
Aku berharap pertemuanku dengan dia nantinya akan
membuat dia bahagia. Semoga pun aku mampu
menjadi manusia memberikan kehangatan pada tiap orang yang merasakan
pandanganku.
Pallangga, 20 Februari 2010